Oleh: Tasudin M Wangsa
Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia kembali mengalami deflasi di bulan September sehingga secara berturut-turut deflasi terjadi selama lima bulan sejak Mei 2024. Sebenarnya Indonesia tidak hanya kali ini mengalami deflasi. Sebelumnya Indonesia pernah mengalami deflasi beruntun pada tahun 1999, 2008, dan 2020.
Saat Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah Tahun 2024 yang digelar Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), Rabu (02/10/2024), Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa cabai merah dan cabai rawit menjadi penyumbang deflasi pada bulan September tahun ini sebagaimana juga menjadi 5 besar penyumbang deflasi di bulan Juli lalu. (cnbcindonesia, 03/10/2024) Ia menegaskan bahwa ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024. (Narasi Newsroom, 03/10/2024)
BPS merilis, secara bulanan terjadi deflasi 0,12% (month to month/mtm), sehingga secara tahunan angka deflasi mencapai 1,84% (year on year/yoy). (cnbcindonesia, 03/10/2024)
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal memandang deflasi terjadi lantaran lemahnya daya beli masyarakat, karena walaupun tersedia kecukupan pasokan barang tapi di saat yang sama demand melemah atau turun. Ia menilai deflasi beruntun ini meskipun belum sampai pada resesi namun memberikan sinyal buruk, terutama jelang peralihan pemerintahan baru. Faisal merekomendasikan agar pemerintahan baru melakukan berbagai macam strategi fiskal untuk mengatasi kondisi ini. (Narasi Newsroom, 03/10/2024)
Sebelumnya, BPS membantah bahwa deflasi ini menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini menekankan bahwa deflasi beruntun ini lebih disebabkan supply (pasokan) berupa panen beberapa komoditas tanaman pangan, holtikultura dan turunnya biaya produksi seperti pada livebird, dan juga sempat penurunan harga jagung pipilan untuk bahan pakan ternak, yang hal ini mendorong deflasi komoditas telur ayam ras, dan juga daging ayam ras. (cnbcindonesia, 03/09/2024)
Bank Indonesia (BI) dalam hal ini sebagai otoritas moneter dan representasi pemerintah menganggap bahwa deflasi yang terjadi beberapa bulan beruntun seiring dengan terus anjloknya angka PMI (Purchase Manager’s Index) Manufaktur belum menjadi alarm yang menandakan aktivitas ekonomi domestik tengah melemah.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti menjelaskan, kondisi itu disebabkan deflasi sendiri terjadi karena harga-harga pangan yang menurun drastis, yang menjadi pertanda bahwa pemerintah mampu mengendalikan harga pangan secara baik. (cnbcindonesia, 03/09/2024)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga memandang, deflasi beruntun yang terjadi di Indonesia ini tidak mencerminkan daya beli masyarakat tengah tertekan. Menurutnya, ukuran daya beli masyarakat yang terlihat dalam inflasi biasanya tercermin dari terus tertekannya angka inflasi inti (core inflation). Sementara, deflasi yang terjadi saat ini lebih karena anjloknya inflasi bahan pangan bergejolak atau volatile food. (cnbcindonesia, 03/09/2024)
Sebagaimana diketahui, core inflation numbers per Agustus 2024 di level 0,20% naik tipis dari bulan sebelumnya di level 0,18%. Sementara itu, harga volatile foods deflasi sebesar 1,24%, melanjutkan tren deflasi bulan sebelumnya di level 1,92%.
Meski mengklaim bahwa deflasi kali ini hanya terjadi pada volatile foods dan tidak pada inflasi inti namun Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah tetap waspada akan dampak negatif dari deflasi beruntun ini. “Tetapi kita akan tetap waspada ya. Kalau kita lihat inflasi inti masih cukup bagus dan masih tumbuh, ya itu oke,” ujar Sri. (cnbcindonesia, 03/09/2024)
Deflasi merupakan penambahan nilai mata uang, antara lain, dengan pengurangan jumlah uang kertas yang beredar dengan tujuan mengembalikan daya beli uang yang nilainya menurun; gejala perekonomian yang merupakan akibat keadaan tersebut, seperti penurunan produksi, langkanya lapangan kerja, rendahnya daya beli masyarakat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI)
Dengan kata lain, deflasi adalah penurunan umum harga barang dan jasa secara berketerusan dalam periode tertentu. Meskipun pada awalnya penurunan harga terlihat positif bagi konsumen, deflasi sebenarnya dapat memiliki dampak negatif yang serius terhadap perekonomian.
Penyebab utama deflasi antara lain:
Deflasi berdampak buruk bagi perekonomian. Diantara dampak negatif deflasi adalah sebagai berikut:
Salah satu contoh dampak buruk deflasi adalah Great Depression pada tahun 1930-an. Harga barang dan jasa turun secara drastis, yang memperburuk krisis ekonomi global. Deflasi pada periode tersebut menyebabkan penurunan tajam dalam produksi, peningkatan pengangguran, dan kebangkrutan perusahaan di banyak negara.
Beberapa solusi yang diterapkan dalam kapitalisme untuk mengatasi dampak negatif deflasi adalah sebagai berikut:
Islam memandang bahwa suatu barang dan jasa dianggap memiliki nilai (value) bilamana disetujui oleh syari’at. Artinya jika syari’at memandang suatu barang dan jasa adalah haram maka tidak boleh beredar di masyarakat. Begitupun sebaliknya, jika suatu barang dan jasa dipandang halal oleh syari’at maka boleh beredar di tengah publik. (An-Nabhanni, Taqiyuddin. (2009). Sistem Ekonomi Islam. Bogor: Al-Azhar Press.)
Berbeda dengan paradigma kapitalisme yang menganggap bahwa selama barang atau jasa dibutuhkan oleh anggota masyarakat, maka barang atau jasa tersebut dipandang memiliki nilai. Sementara itu suatu barang atau jasa dipandang tidak memiliki nilai dan dipandang tidak layak disajikan di tengah publik hanya karena bila tidak ada yang membutuhkannya (zero demand).
Barang atau jasa yang tidak boleh beredar menurut syari’at bisa saja justru menjadi produk yang menyokong peradaban kapitalisme dengan menggerakkan teknologi dan tenaga kerja yang tinggi. Akibatnya, saat penawaran (supply) produk tinggi sementara itu terjadi penurunan permintaan agregat yang menyebabkan deflasi maka korporasi yang bergerak dalam bidang produksi tersebut mengalami penurunan pendapatan dan laba. Perusahaan mengeluarkan kebijakan efisiensi modal dan pengurangan jumlah tenaga kerja. Akhirnya pengangguran pun meningkat.
Islam memandang bahwa manusia memiliki kebutuhan yang bersifat material maupun non material/non fisik yang menyebabkan manusia melakukan berbagai aktifitas ekonomi yang dilandasi nilai transendental seperti sadaqah, hibah, hadiah, infaq, dan zakat.
Islam menjamin terealisasinya pemenuhan semua kebutuhan primer (basic needs) setiap orang secara menyeluruh (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan), berikutnya memungkinkan dirinya mampu memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kesanggupan dirinya sebagai individu yang hidup di tengah masyarakat sesuai dengan gaya hidup (live style) tertentu. (An-Nabhanni, Taqiyuddin. (2009). Sistem Ekonomi Islam. Bogor: Al-Azhar Press.)
Sedangkan kapitalisme memandang bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas sementara alat pemuas kebutuhan manusia berupa barang dan jasa bersifat terbatas. Kapitalisme menganggap bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia bersifat material semata tanpa memperhatikan kebutuhan manusia yang bersifat non-fisik seperti kebutuhan akan rasa bangga dan spiritual. Kapitalisme mendorong manusia bersifat konsumtif dalam rangka memuaskan segala kebutuhannya yang tak terbatas tersebut. Sementara kapitalisme tidak berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu secara komprehensif.
Mata uang dalam Islam adalah dinar dan dirham berbahan material emas dan perak. Mata uang ini dilegislasi oleh Rasulullah saw. Mata uang dinar pada masa Nabi saw. setara 4,25gr emas sedangkan dirham nabi saw. adalah 2,975gr perak. (Zallum, Abdul Qadim. (2009). Sistem Keuangan Negara Khilafah. Jakarta: HTI Press.)
Mata uang dinar dan dirham tidak mengenal deflasi maupun inflasi karena alasan berikut:
Deposit sumber tambang emas dan perak yang berlimpah di negeri-negeri muslim akan memasok secara penuh bagi cadangan mata uang yang beredar di tengah masyarakat.
Nilai intrinsik dan ekstrinsik pada mata uang adalah sama. Berbeda dengan fiat money yang terbuat dari kertas dan tak memiliki cadangan di bank sentral yang menyebabkan terjadinya fluktuasi harga pada mata uang.
Islam tidak menetapkan suku bunga pada berbagai utang (qard) karena hal tersebut adalah riba yang diharamkan oleh syari’at. Dalam Islam tidak ada perbankan yang bergerak di bidang simpan pinjam dengan menetapkan suku bunga dalam transaksinya. Uang bukanlah komoditas yang dijadikan penyokong pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Negara memberi pinjaman bagi masyarakat yang membutuhkan untuk menopang kebutuhan sekunder (wirausaha atau permodalan) masyarakat tanpa menetapkan suku bunga (nol persen). (As-Sabatin, Yusuf. (2011). Bisnis Islami & Kritik atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis. Bogor: Al-Azhar Press.)
Dengan begitu tidak akan terjadi deflasi karena mata uang terus beredar di masyarakat, namun juga tak akan terjadi inflasi karena emas merupakan benda berharga secara instrinsik yang akan memiliki nilai tetap dan tinggi jika dibandingkan dengan nilai barang dan jasa yang beredar di tengah masyarakat.
Pajak sebagaimana kapitalisme berlakukan bukanlah bagian dari pos pendapatan dalam sistem pemerintahan Islam. Pajak adalah perkara yang dilarang oleh syari’at. Islam memandang penarikan pajak oleh negara merupakan suatu kezaliman terhadap masyarakat. Dengan demikian sumber pendapatan negara tidak pernah memasukkan pajak sebagai salah satunya.
Pajak telah menyebabkan sulitnya ekonomi masyarakat. Berbagai jenis pajak meniscayakan turunnya daya beli masyarakat. Banyak warga di negara Eropa memilih untuk pindah kewarganegaraan dikarenakan pajak yang tinggi.
Daya beli masyarakat yang lemah menyebabkan permintaan terhadap barang dan jasa menurun. Hal ini mengakibatkan upaya penurunan harga pada supply barang dan terjadilah deflasi.
Bursa saham dan valuta asing (forex) adalah salah satu bentuk pasar non riil (non-real market) sebagaimana pasar kripto berupa pasar mata uang kripto seperti bitcoin dan ethereum.
Pasar non riil global telah menyerap uang sejumlah 90% sementara hanya 10% uang beradar di pasar riil. Pasar derivatif seperti kontrak berjangka (futures), opsi (options), dan swap, ataupun pasar saham dan forex telah menarik lebih banyak modal para kapitalis untuk berinvestasi di pasar non riil daripada di pasar riil.
Pasar non riil menjalankan aktifitas yang bersifat spekulatif. Saat opini positif terjadi pada aset seperti saham, properti, atau komoditas, sehingga harga menjadi naik melampaui nilai intrinsiknya karena spekulasi atau permintaan yang berlebihan, kemudian fenomena ini diikuti oleh penurunan tajam (crash) ketika pasar menyadari bahwa harga tersebut tidak realistis, di situlah terjadi pecah gelembung ekonomi (economic bubble).
Dampak dari pecahnya bubble ekonomi adalah kerugian finansial bagi investor, kebangkrutan korporasi, krisis perbankan, penurunan aktivitas ekonomi (resesi), pengangguran, penurunan nilai aset, krisis sosial, inflasi atau deflasi.
Pondasi pasar dalam Islam hanyalah pasar riil, karena pasar ini menunjukkan aktivitas riil ekonomi masyarakat. Sementara pasar non riil adalah pasar yang menjalankan aktivitas spekulatif dan riba yang ditentang oleh syari’at. Dengan begitu semua kebutuhan individu masyarakat bisa terpenuhi di pasar riil yang memiliki pondasi kokoh tanpa aktivitas yang bersifat spekulatif dan riba.
Hal utama dalam ekonomi kapitalis adalah problem kelangkaan barang dan jasa. Manusia dipandang memiliki kebutuhan yang tak terbatas sementara alat pemuas kebutuhan berupa barang dan jasa bersifat terbatas. Solusi yang ditawarkannya adalah meningkatkan produksi karena dipandang akan memenuhi kebutuhan semua anggota masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi diukur berdasarkan angka Produk Domestik Bruto (PDB) misalnya capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia Triwulan-II 2024 sebesar 5,05 (yoy). (ekon.go.id, 05/08/2024) Ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi Indonesia merujuk kepada ekonomi kapitalistik yang mengukur kondisi perekonomian berdasarkan peningkatan PDB selain inflasi yang rendah dan terkendali. Produksi yang terus didorong akan menghasilkan pasokan berlebih yang jika tidak didukung oleh permintaan yang sepadan akan mengakibatkan deflasi.
Sementara itu, salah satu solusi ekonomi dalam Islam adalah berupa distribusi barang dan jasa di tengah masyarakat. Problem ekonomi diakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat. Dengan mengatur distribusi kepada setiap individu masyarakat bisa dipastikan tak ada masyarakat yang mengalami masalah ekonomi.
Islam membuat regulasi distribusi sehingga pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok serta kebutuhan sekunder dan tersier terlaksana dengan baik. Saat terjadi kesenjangan ekonomi maka negara memberikan harta dari baitul mal kepada individu yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Negara juga melarang praktik penimbunan harta. (An-Nabhanni, Taqiyuddin. (2009). Sistem Ekonomi Islam. Bogor: Al-Azhar Press.)
Salah satu solusi agar tidak terjadi deflasi berkepanjangan yang berdampak pada resesi ekonomi adalah dengan dukungan fiskal berupa suntikan stimulus kepada publik, infrastruktur, atau dukungan langsung kepada masyarakat agar uang yang beredar di masyarakat mencukupi sehingga permintaan terhadap barang dan jasa meningkat dan terjadi inflasi terkendali.
Pemerintah kapitalisme juga menerapkan politik ekonomi inflasi meskipun tetap mengendalikannya agar tidak terjadi hiperinflasi sehingga tercipta pertumbuhan ekonomi berupa pertumbuhan permintaan, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Politik ekonomi inflasi juga mendorong investasi dan pengeluaran, mengurangi beban utang riil, mendukung penyesuaian upah, menjaga tingkat suku bunga yang sehat, mendorong kenaikan pendapatan pajak, dan menghindari deflasi.
Sementara Islam tidak menerapkan politik ekonomi inflasi. Karena politik yang dijalankan Islam adalah mengatur distribusi barang dan jasa yang merata secara komprehensif kepada seluruh individu masyarakat, maka tingkat kerentanan terjadinya inflasi ataupun deflasi menjadi sangat rendah didukung oleh nilai intrinsik uang yang baik setara dengan nilai produk yang ada di masyarakat.
Berbeda dengan politik kapitalisme yang menekankan pada peningkatan produksi tanpa regulasi distribusi yang merata kepada setiap individu. Produksi yang tinggi namun tidak terdistribusikan secara merata menyebabkan penumpukan pasokan barang di suatu wilayah karena rendahnya permintaan, kemudian hal ini menyebabkan deflasi.
Politik ekonomi Islam tidak bisa diterapkan secara parsial sebagai solusi atas problem-problem derivasi kapitalisme, namun harus dijalankan secara komprehensif dalam suatu sistem ekonomi Islam yang berlaku secara terintegrasi dengan sistem-sistem Islam lainnya seperti sistem sosial, pemerintahan, hukum, politik, pendidikan, dll. yang berasaskan Islam. Dengan demikian Islam akan benar-benar terwujud sebagai sebuah jalan yang menghantarkan manusia kepada kemajuan baik secara ekonomi ataupun peradaban, ketentraman, dan keberkahan hidup.
Berbagai sistem tersebut hanya bisa terwujud dalam sebuah pemerintahan yang berlandaskan akidah dan ideologi Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah dan bersifat global yang bertugas menerapkan syari’ah Islam dan mengemban dakwah dan jihad ke seluruh dunia sehingga seluruh masyarakat mendapatkan kebaikan duniawi, dan secara khusus kebaikan pula di akhirat bagi seluruh muslim.
Wallahu a’lam.