Masalah Rempang Bukti Keberpihakan Pemerintah Kepada Oligarki dan Investor

Masalah Rempang Bukti Keberpihakan Pemerintah Kepada Oligarki dan Investor

Selain masalah pilpres 2024, akhir-akhir ini perhatian masyarakat Indonesia terarah kepada masyarakat Rempang. Hal ini bermula dari bentrokan antara aparat gabungan dan warga terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023). Peristiwa itu terjadi saat petugas hendak melakukan pengukuran lahan terkait proyek Rempang Eco City. Akibat bentrokan itu, sejumlah warga ditangkap dan siswa di dua sekolah terkena tembakan gas air mata (Kompas.id 7/9/2023)

Rempang Eco City adalah proyek pengembangan pembangunan Pulau Rempang, Kota Batam. Proyek ini masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) tahun 2023 seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

Hingga saat ini, total investasi pengembangan Eco City Area Batam Rempang mencapai Rp 43 triliun. PT MEG juga telah menggandeng Xinyi International Investment Limited, calon investor yang bakal membangun pusat pengolahan pasir kuarsa dan pasir silika di Rempang. Pemerintah mengklaim komitmen investasi Xinyi bakal mencapai Rp 381 triliun hingga 2080 (swa.co.id, 12/9/2023)

Dikatakan juga bahwa proyek ini merupakan kerjasama antara pemerintah pusat melalui BP Batam dan pemerintah Kota Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG), kelompok usaha yang dibangun Tomy Winata. Presiden ke-3 Republik Indonesia, yang juga Ketua Otorita Batam ke-3, BJ Habibie, pernah membuat konsep Barelang (Batam Rempang Galang) yang dihubungkan dengan 6 jembatan Barelang agar luasnya menjadi 715 km2 atau 13% lebih besar dari Singapura, sehingga diharapkan Batam berdikari dan dapat bersaing dengan Singapura.

Kerjasama antara BP Batam dengan PT MEG sendiri, sudah dilakukan sejak tahun 2004. Sebagaimana disampaikan oleh H. Muhammad Rudi (Wali Kota Batam ex-officio) “Perjanjian ini sudah dimulai sejak 2004. Di tahun 2004, telah ada nota kesepahaman (MoU) antara BP Batam dan PT MEG. Hari ini, perjanjian ini ditegaskan kepada kita bahwa mereka akan melanjutkan investasi. Ini artinya saya melanjutkan apa yang disepakati pada tahun 2004,” kata Rudi. PT MEG juga meminta agar perjanjian tersebut diteruskan oleh BP Batam. Rudi mengakui bahwa dirinya juga telah dipanggil ke Jakarta terkait Rempang Eco-City. “Saya dipanggil ke pusat, hal ini menunjukkan bahwa ini adalah kebijakan dari tingkat pusat hingga daerah,” tambahnya (batamtoday.com, 12/09/2023)

Walaupun akhirnya berita tersebut ditepis oleh Anggota DPRD Provinsi Kepri Taba Iskandar, yang pada tahun 2004 menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Batam, bahwa pada tahun 2003 DPRD memberikan rekomendasi agar dapat dibukanya investasi di Pulau Rempang dengan landasan Perda Pariwisata atau yang lebih populer dengan Perda KWTE (Kawasan Wisata Terpadu Ekslusif), dalam rangka memindahkan segala aktivitas dunia hiburan malam di Batam ke Pulau Rempang (tidak Rempang-Galang dan Rempang pulau yang terpisah dari daratnya). Rekomendasi DPRD Kota Batam tidak berlanjut, karena Kapolri saat itu melarang perjudian. Karena dia beranggapan bahwa KWTE itu akan dibuat judi. Karena memang KWTE Rempang itu akan membangun proyek judi seperti Sentosa di Singapura. Saat itu, judi di Sentosa Singapura belum ada. Jadi, judi di Sentosa itu berhasil dibangun karena batalnya KWTE di Pulau Rempang itu,” ungkap Taba Iskandar (batamtoday.com, 12/09/2023)

Awal Kisruh Masalah Rempang

Kasus ini mencuat ketika terjadi bentrok antara masyarakat Rempang dengan petugas yang akan melakukan pengukuran tanah sebagai bagian dari proyek Rempang Eco City pada Kamis, 7/9/2023. Masyarakat menolak relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah dan PT MEG. “Kami menolak dengan tegas sejengkal pergeseran, perpindahan, relokasi atau penggusuran atau pengosongan dari tanah tumpah darah nenek leluhur kami,” kata salah satu warga perwakilan dalam sebuah video yang diunggah oleh YLBHI, Senin (25/9). “Apapun bentuknya, apapun terminologinya tanpa syarat,” imbuhnya. (cnnindonesia.com, 27/09/20230

Bahkan sampai tanggal 3 Oktober 2023, sebagaimana diberitakan Kompas, mayoritas warga masih menolak menolak rencana relokasi terkait proyek Rempang Eco City. Pemerintah diminta lebih dulu menjamin kepastian kompensasi dan rumah pengganti bagi warga. Padahal berbagai upaya sosialisasi program ini terus ditingkatkan pemerintah, seperti relokasi yang tetap dilakukan di pulau Rempang, adanya uang kompensasi berupa uang tunggu Rp 1,2 juta per kepala dan uang sewa rumah Rp 1,2 juta per keluarga. Sambil menunggu pembangunan unit rumah type 45 senilai Rp 120 juta dan tanah dengan luas maksimal 500 m2.

Beberapa tahun sebelumnya, tahun 2007, Tomy Winata pernah diperiksa Mabes Polri terkait adanya MoU antara Arta Graha dan Pemkot Batam untuk membangun resor dan industri di Pulau Galang, Pulau Rempang, dan Pulau Sengoku seluas 17 ribu hektar pada 26 Agustus 2004. Nantinya, Artha Graha dan Pemkot Batam akan bagi hasil selama 80 tahun. Kasus ini terkuak lantaran muncul surat kaleng yang dikirimkan ke Habibie Center bahwa ada dugaan kerugian negara Rp 3,6 triliun. Surat kaleng itu lalu dikirimkan Habibie Center kepada Seskab Sudi Silalahi dan mendistribusikan kasus ini ke Kejaksaan, KPK, Tipikor, dan Mabes Polri. (detik.com, 14/11/2007)

Keberpihakan Pemerintah Kepada Oligarki dan Investor

Dari fakta-fakta di atas, kita dapat melihat bahwa sikap pemerintah terlalu berpihak kepada oligarki (sekelompok kecil orang yang menguasai kendali pemerintahan ) dan investor, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Hal ini terbukti dari beberapa kesalahan dan kejanggalan berikut ini:

  1. Proyek Ini Mengancam Bagi Lingkungan Hidup

Secara hukum, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Sebagaimana dilansir oleh Walhi, dokumen AMDAL Rempang Eco City ternyata baru mulai disusun. Terbukti dengan adanya surat undangan yang dikeluarkan BP Batam untuk kegiatan Penyusunan AMDAL Kawasan Rempang Eco-City pada 27 September 2023. (walhi.or.id, 29/9/2023)

Selain itu, masyarakat Rempang pun mengkhawatirkan pembangunan industri kaca akan berdampak negatif terhadap kelestarian ekosistem laut Pulau Rempang, yang tentunya lambat laun akan mematikan mata pencaharian masyarakat.

  1. Perizinan Belum Tuntas

Kejanggalan lain adalah mengenai perizinan yang begitu cepat dan bahkan belum tuntas. Misalnya Rempang Eco City yang baru masuk menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) pada 28 Agustus 2021 sebagaimana tercantum dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023. Sedangkan diketahui bahwa PSN adalah proyek yang dilakukan oleh pemerintah pusat, bukan oleh daerah apalagi bekerjasama dengan swasta, dalam hal ini PT MEG dan Xinyi International.

Dalam rapat kerja DPR dengan Kementrian Investasi pun, anggota DPR Nusron Wahid mempertanyakan mengenai HPL (Hak Pengelolaan Lahan) yang baru diteken tahun 2023, sedangkan kerjasama BP Batam dan PT MEG sudah dilakukan sejak tahun 2024 (Youtube DPR RI, 02/10/2023). Hal ini senada dengan klarifikasi dari Taba Iskandar yang menyatakan Memorandum of Understanding (MoU) PT Mega Elok Graha (MEG) bersama Pemerintah Kota (Pemkot) dan Badan Pengusahaan (BP) Batam tahun 2004 lalu ternyata bukan soal Rempang Eco City. “Saya perlu konfirmasi dan counter bahwa steatment kepala BP ini (investasi) telah mulai sejak 2004. Itu hal yang berbeda. tidak sama dengan yang sekarang,” kata Taba Iskandar, selaku mantan Ketua DPRD Batam periode 2000-2004, Selasa (12/09) (ulasan.co, 12/09/2023).

  1. Melanggar Hak Kepemilikan Masyarakat

Menurut Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, dalam diskusi bertema “Hak Atas Pembangunan: Refleksi dari Konflik Agraria Rempang dan Proyek Strategis Nasional (PSN)”, terdapat SK walikota batam tahun 2004 yang menyatakan bahwa kampung tua itu jangan dijadikan hak pengelolaan HPL dari Otoritas Batam, sekarang jadi BP Batam, karena tidak ada tindak lanjut maka tidak terdapat sertifikatnya. Sementara tahun 2019 Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil membagikan 1.406 sertifikat di tiga lokasi kampung tua Kota Batam dan berjanji untuk menyelesaikan sertifikasi 34 kampung tua lain di Batam. Secara tidak langsung, pengakuan terhadap tanah warga kampung tua di Pulau Batam berlaku juga bagi warga kampung tua di lokasi lain. Maka, relokasi tak bisa ditentukan secara sepihak dan harus melibatkan masyarakat, terutama masyarakat terdampak (law.ugm.ac.id, 29/09/2023).

Faktanya, pemerintah melakukan relokasi secara sepihak demi kepentingan pengusaha dan investor. Sehingga wajar saja masyarakat menolak.

  1. Terbuai Rayuan Pengusaha dan Investor

Xinyi Glass Holdings Ltd adalah salah satu investor yang akan mendirikan pabrik kaca di Pulau Rempang dengan nilai investasi Rp 175 triliun. Mampukah Xinyi berinvestasi IDR 175 triliun di Indonesia. Mari kita cermati. Posisi kas dan setara kas akhir 2022 adalah HKD 3,2 miliar alias IDR 6,3 triliun. Kas itu jauh dari angka IDR 175 triliun. Dan tentu saja kas itu tidak bisa diambil semuanya karena dibutuhkan untuk menjaga aliran kas operasional perusahaan. Dengan total biaya sekitar IDR 45 triliun (setahun), nilai kas setara kas itu hanya senilai kurang lebih 1,5 bulan total biaya perusahaan. Tentu tidak mungkin untuk diambil untuk berinvestasi di Rempang (korporatisasi.com, 20/9/2023)

Melihat angka di atas, terbukti bahwa pemerintah lebih banyak terbuai dengan janji investasi yang menggiurkan dengan mengabaikan hak-hak rakyat.

Rempang Eco City Menyalahi syariah

Selain bukti di atas, proyek Rempang Eco City saat ini bertentangan dengan aturan syariah. Berikut adalah hal-hal yang dilanggar

  1. Mengambil kepemilikan pribadi tanpa hak

Masyarakat Rempang adalah pemilik sah atas tanah dan lahan yang mereka tempati saat ini. Mereka telah menempati lahan tersebut secara turun temurun, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Syariah  Islam juga menetapkan bahwa warga bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni lahan tak bertuan, yang tidak ada pemiliknya. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain) (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).

Beliau juga bersabda:

مَنْ ‌سَبَقَ إِلَى مَا ‌لَمْ ‌يَسْبِقْ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ لَهُ

Siapa saja yang lebih dulu sampai pada sebidang tanah, sementara belum ada seorang Muslim pun yang mendahuluinya, maka tanah itu menjadi miliknya (HR ath-Thabarani).

Dengan demikian lahan yang tidak ada pemiliknya, lalu dihidupkan oleh warga dengan cara ditanami, misalnya, atau didirikan bangunan di atasnya, atau bahkan dengan sekadar dipagari, maka otomatis lahan itu menjadi miliknya.

Selain itu, Kitab Tuhfat An- Nafis karya Raja Ali Haji (terbit perdana tahun 1890), dijelaskan bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang dan Bulang adalah keturunan dari Prajurit/Lasykar Kesultanan Riau Lingga, yang sudah mendiami pulau-pulau tersebut sejak tahun 1720 M, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I. Dalam Perang Riau I (1782 – 1784) melawan Belanda, mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah ( salah seorang Pahlawan Nasional ). Kemudian dalam Perang Riau II, juga melawan Belanda (1784-1787) mereka menjadi prajurit yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah. Anak cucu prajurit itulah yang sampai saat ini mendiami pulau Rempang, Galang dan Bulang secara turun temurun. Pada Perang Riau I dan Riau II, nenek moyang mereka disebut sebagai Pasukan Pertikaman Kesultanan. Hal ini juga diungkap dalam sejumlah arsip kolonial Belanda berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930 (Laporan Sebuah Kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang pada 4 Febaruari 1930). Laporan ini ditulis di Tanjungpinang, 12 Februari 1930 dan dimuat dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkunde, Deel LXX Aflevering I,1930.

Kepemilikan atas lahan ini tidak bisa dibatalkan atau diambil alih oleh siapa saja, bahkan negara sekalipun, hanya karena tidak bersertifikat. Perampasan lahan tanpa alasan syar’i adalah perbuatan ghasab dan zalim. Allah SWT telah mengharamkan memakan harta sesama manusia dengan cara yang batil, termasuk dengan cara menyuap penguasa, agar diberikan kesempatan merampas hak milik orang lain.

  1. Memberikan kepemilikan umum kepada pribadi/investor

Alasan Xinyi International berinvestasi di Rempang Eco City adalah untuk proses hilirisasi pasir kuarsa, pembangunan pabrik kaca dan solar panel terbesar kedua setelah China. Berdasarkan data Kementerian ESDM 2021, Indonesia memiliki potensi sumber daya pasir kuarsa yang cukup besar sampai dengan 25 miliar ton dengan jumlah cadangan mencapai 330 juta ton. Kepuluan Riau sendiri memiliki potensi sumber daya hipotetik pasir kuarsa mencapai lebih dari 190 juta ton yang terdistribusi di dua wilayah (cnnindonesia.com, 21/9/2023).

Melihat potensi di atas, jelaslah bahwa sumber daya pasir kuarsa merupakan kepemilikan umum yang pengelolaanya wajib dilakukan oleh negara untuk kepentingan masyarakat dan haram dimiliki serta dikelola oleh pribadi atau swasta.

عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ.

“Dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan meminta beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun memberikan tambang itu kepadanya.  Ketika, Abyad bin Hamal ra telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukan Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd)”. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal)”. (HR. Abu Dawud dan al-Timidzi)

Hadits ini adalah  dalil bahwa barang tambang yang depositnya  melimpah adalah milik umum.  Dan  tidak boleh dimiliki oleh individu; (Syaikh Abdul Qadim Zallum, al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm. 54-56).

Karena dalam hadits tersebut beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menarik kembali tambang garam yang beliau berikan pada Abyadh bin Hammal ra setelah beliau mengetahui bahwa tambang garam tersebut depositnya melimpah, maka tambang garam tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu , dan merupakan milik kaum muslimin.

Ini berlaku bukan hanya untuk garam saja –seperti dalam hadits diatas- tapi berlaku pula untuk seluruh barang tambang.  Mengapa? Karena larangan tersebut berdasarkan illat yang disebutkan dengan jelas dalam hadits tersebut, yakni “layaknya air yang mengalir”, maka semua barang tambang jumlahnya “layaknya air yang mengalir” –depositnya melimpah- tidak boleh dimiliki oleh individu (privatisasi).

  1. Memberikan jalan kepada kaum kafir menguasai negeri

Sebenarnya tidak hanya Rempang yang menjadi jalan masuknya invetasi dan utang dari asing. Kasus kereta cepat harusnya menjadi pelajaran, bagaimana proyek yang awalnya tidak menggunakan APBN akhirnya menggerus APBN. Penjajahan terselubung melalui utang dan investasi sudah menjadi rahasia umum dalam kancah perpolitikan dunia. Seperti Zimbabwe, Sri Lanka, Nigeria, Uganda serta negara lain. Dan kesemuanya sudah masuk perangkap, sebab gagal membayar utang dengan China. Membuka lebar-lebar bagi asing untuk menguasai SDA adalah haram menurut Islam, karena itu membuka jalan bagi mereka untuk menyetir kebijakan pemerintah bahkan menguasainya.

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS An Nisaa’ : 141)

Ayat ini menjadi dalil akan haramnya dominasi kafir atas umat Islam yang menghilangkan kedaulatan ekonomi dan politik.

Pemerintah Taat Syariah Rakyat Sejahtera

Masalah Rempang merupakan masalah yang serius yang harus segera diselesaikan. Juga menjadi indikasi yang terang benderang akan jauh-nya ketaatan terhadap syariah yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, jika ingin masalah ini tuntas dan tercipta keadilan, maka pemerintah harus menjadikan syariah sebagai pedoman.

Ketaatan kepada syariah yang dilakukan pemerintah akan mampu mewujudkan suasana masyarakat yang Islami, menjadikan halal-haram sebagai patokan, akhirat sebagai tujuan tertinggi dan ridha-Nya sebagai ukuran kebahagiaan. Bukan seperti saat ini, ideologi kapitalisme yang bercokol, membuat hubungan penguasa dan rakyat layaknya hubungan bisnis, mudah berbuat dzalim karena berkuasa, uang dan harta menjadi pun standar kebahagiaan masyarakat sehingga umat menjadi cinta dunia dan takut mati.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya..” (QS Al A’raf : 96)

You might also like